Pernyataan tegas itu disampaikan Hendra Budi Paningrat, pegawai ATR/BPN, dalam catatan hariannya yang membahas ketimpangan tanah di Indonesia.
Menurut Hendra, reforma agraria hadir untuk menata ulang pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Dasarnya jelas, yakni Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan besar.
Sebagian orang menguasai lahan hingga ratusan hektar, sementara masyarakat kecil hanya bertahan dengan sepetak sempit.
Inilah yang menjadi dasar pemerintah melaksanakan reforma agraria.
Program ini bertujuan mengurangi ketimpangan, menangani sengketa, hingga menciptakan lapangan kerja.
Objek tanah reforma agraria (TORA) cukup beragam.
Mulai dari tanah bekas HGU, tanah negara terlantar, tanah bekas tambang, hingga tanah timbul akibat fenomena alam.
Semuanya bisa menjadi sumber redistribusi tanah untuk masyarakat.
Subjek penerimanya pun tidak terbatas pada petani.
Buruh tani, nelayan kecil, guru honorer, hingga pekerja sektor informal juga bisa mendapat kesempatan.
“Guru honorer yang mengabdi bertahun-tahun tapi tidak punya tanah, itu juga harus dipikirkan,” ujar Hendra.
Dengan begitu, pemilik tanah memiliki kepastian hukum.
Lebih jauh, sertifikat tanah bisa dijadikan jaminan modal usaha.
Inilah yang kemudian membuka peluang ekonomi baru.
Bagi pemerintah, reforma agraria bukan sekadar membagi tanah.
Penataan akses juga dilakukan, mulai dari pendampingan usaha, pelatihan, hingga fasilitasi pemasaran.
“Tanah harus produktif, bukan sekadar sertifikat,” tambah Hendra.
Jika program ini berjalan konsisten, masyarakat kecil bisa benar-benar merasakan manfaatnya.
Tidak hanya memiliki tanah, tetapi juga kesempatan untuk hidup lebih sejahtera.
Reforma agraria dipandang sebagai solusi struktural.
Ketimpangan yang sudah mengakar tidak bisa diselesaikan dengan program jangka pendek.
Karena itu, reforma agraria dianggap sebagai kebutuhan mendesak, bukan pilihan.
Masyarakat berharap, komitmen pemerintah tidak hanya berhenti pada wacana.