Skema pengadaan tanah di Indonesia kini semakin menarik perhatian publik. Pemerintah mengganti istilah “ganti rugi” menjadi “ganti untung” untuk memberi kesan lebih positif bagi masyarakat terdampak.
Dalam praktiknya, ganti untung berarti nilai kompensasi yang diterima warga tidak hanya sebatas harga tanah, tetapi juga mencakup aspek immaterial seperti kehilangan pekerjaan, biaya relokasi, hingga potensi pendapatan yang hilang.
Dari Ganti Rugi ke Ganti Untung
Kasubdit Pengembangan dan Penilaian Tanah, Direktorat Penilaian Tanah dan Ekonomi Pertanian, Jatmiko ST MSC, menjelaskan bahwa konsep ganti untung lahir agar masyarakat merasa tidak dirugikan.
“Appraisal itu bukan hanya mengganti tanah, tetapi juga menilai potensi kehilangan penghasilan, tunjangan peralihan pekerjaan, bahkan kompensasi lain yang sifatnya immaterial,” kata Jatmiko dalam diskusi Pusbang Berbincang.
Meski begitu, ia menekankan pentingnya kajian sosial atau Social Impact Assessment (SIA) agar kompensasi benar-benar memberi manfaat jangka panjang bagi warga terdampak.
Risiko Konsumtif yang Mengintai
Fenomena warga yang tiba-tiba kaya mendadak dari ganti untung menjadi perbincangan hangat. Banyak yang tergoda menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan sekunder, sementara kebutuhan dasar seperti rumah atau pendidikan anak justru terabaikan.
Menurut Jatmiko, kasus ini menunjukkan bahwa ganti untung saja tidak cukup. Tanpa perencanaan matang, masyarakat bisa menyesal setelah uangnya habis. Inilah sebabnya SIA hadir untuk memastikan pembangunan berjalan adil dan masyarakat tidak tertinggal.
Penilaian dampak sosial (Social Impact Assessment) bukan sekadar formalitas. Proses ini menilai, memantau, dan mengelola konsekuensi sosial dari proyek pembangunan atau pengadaan tanah.
Tujuannya adalah memprediksi dampak negatif maupun positif, lalu mencari langkah mitigasi. Dengan begitu, masyarakat terdampak tidak sekadar menerima uang kompensasi, tetapi juga bisa beradaptasi dan tetap sejahtera pasca proyek berjalan.
“Yang kita harapkan, warga tidak hanya menjadi penonton pembangunan, tapi ikut menjadi penerima manfaat,” jelas Jatmiko.
Tantangan ke Depan
Meski konsep ganti untung terdengar menjanjikan, tantangan implementasinya masih besar. Tidak semua masyarakat siap mengelola uang dalam jumlah besar. Sementara itu, regulasi SIA di Indonesia masih terus digodok agar benar-benar efektif.
Belum lagi persoalan masyarakat adat, tenaga kerja lokal, hingga risiko kesehatan sosial akibat proyek pembangunan. Semua ini perlu diantisipasi agar istilah ganti untung benar-benar memberikan keuntungan nyata, bukan sekadar janji.
Harapan Pemerintah
Ke depan, pemerintah berharap SIA bisa diintegrasikan dalam setiap proses pengadaan tanah. Dengan begitu, konflik sosial dapat diminimalisir, biaya proyek tidak membengkak, dan masyarakat benar-benar mendapat kesejahteraan.
“Kalau prosesnya dari awal sudah matang, masyarakat akan lebih menerima pembangunan. Kita ingin pembangunan berjalan cepat, tapi tetap berkeadilan,” tegas Jatmiko.
Dengan adanya konsep ganti untung, pengadaan tanah di Indonesia memasuki babak baru. Namun, tantangan terbesarnya bukan sekadar berapa besar uang yang diberikan, melainkan bagaimana memastikan uang itu benar-benar bermanfaat untuk masa depan masyarakat.